04 Juli 2017

AGMP VS PGRI ?

WAJIB DIBACA TUNTAS UNTUK PENGURUS DAN ANGGOTA PGRI
Oleh : Dr (Cand) Dudung Nurullah Koswara, M.Pd
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)


PGRI Dalam Target, Waspadalah!!!

Sungguh kaget melihat begitu keras Ibu Ketua Umum PB PGRI berbicara “menghantam” Dirjen GTK dihadapan Mendikbud Prof. Muhadjir dan semua jajaran Kemdikbud. Terus terang saya melihat “serangan” Ibu Ketua Umum PB PGRI terhadap Dirjen GTK di sarangnya bagaikan induk ayam yang melindungi anak-anaknya dari bahaya pemangsa. Ibu Ketua Umum terlihat “emosional” dalam membela para guru, bagaikan seorang Ibu yang selalu memikirkan nasib anak-anak tercintanya.

Kesimpulannya Ibu Ketua Umum PB PGRI Dr Unifah Rosyidi benar-benar menumpahkan kekesalan terhadap birokrasi pendidikan setingkat Dirjen GTK. Bahkan diantara sejumlah argumen yang disampaiakn beliau katakan bahwa sesungguhnya Dirjen GTK adalah made in PGRI tetapi malah merepotkan PGRI dan banyak menyakiti guru. Dirjen GTK dibuat untuk memudahkan guru malah menyusahkan guru. Itulah “teriakan” Ketua Umum PB PGRI dihadapan Mendikbud dan jajarannya.



Selanjutnya Ibu Ketua Umum PB PGRI mengatakan termasuk 20 persen APBN pendidikan yang “dinikmati” kita semua warga kemdikbud adalah perjuangan PGRI. Plus trilyunan anggaran yang berputar di kemdikbud berkaitan TPG adalah perjuangan PGRI. PGRI telah menjadi pejuang kesejahteraan bagi Kemdikbud dan Dirjen GTK khususnya tetapi mengapa masih banyak guru yang dipersulit.

Bukankah honorer masih bermasalah? Bukankah kenaikan pangkat guru masih bermasalah? Bukankah moratorium masih menyisakan masalah? Bukankah maslah UKG masih dianggap memberatkan dan bermasalah? Bukankah PLPG menghilang menjadi PPG bersubsidi? Bukankah para guru terus disibukan dengan administrasi yang memberatkan dan merugikan waktu guru dalam melayani anak didik? Sejumlah kekesalan ditumpahkan Ibu Ketua Umum PB PGRI dihadapan semua pejabat Kemdikbud.

Sahabat PGRI semua, yang paling mengesalkan bagi kita semua dan membuat Ibu Ketua Umum PB PGRI naik tensi adalah adanya tiga kebijakan yang telah “menghina” PGRI sebagai organisasi profesi guru yang sudah cukup berjasa di negeri ini namun diperlakukan tidak “manusiawi”. Secara “sembunyi-sembunyi” Kemdikbud melalui Dirjen GTK telah membuat sebuah aturan yang menyakitkan dan merendahkan derajat para guru.

Aturan yang dimaksud adalah PP 19, Permendikbud No 23 Tahun 2017 dan Rencana Permendikbud berkaitan Asosiasi Guru Mata Pelajarn (AGMP). PP 19 telah merendahkan derajat para guru dan anak-anak guru. Diantaranya, maslahat tambahan yang merupakan satu bentuk apresiasi/kehormatan para guru dan putra-putri guru dihilangkan. Hal lainnya berkaitan PLPG, eksistensi pengawas, beasiswa guru diubah tanpa melibatkan PGRI. Ini sebuah upaya “cerdik” yang tak lajim.

Namun yang paling mematikan dan merendahkan kehormatan eksistensi guru adalah akan hadirnya AGMP. AGMP adalah sebuah asosiasi guru mata pelajaran yang terlihat manis namun benar-benar menghina PGRI. Memang terkadanag sesuatu yang terlihat menawan, manis, cantik dan warnanya menggoda bisa menjadi penipu terbaik. Makanya dalam dunia hipnotis, menipu dan mengkecoh dibutuhkan upaya cerdik agar terlihat baik atau sangat baik.

AGMP adalah mesin “pelenyap” PGRI. Bila kita baca draft AGMP maka jelas sudah menolak pensiunan, menolak para dosen dan menolak tenaga kependidikan, dalam AGMP hanya diisi oleh guru saja. Anehnya AGMP dipaksa didirikan oleh pemerintah dengan anggaran dari pemerintah. Semua guru harus masuk dalam satu wadah AGMP. Wajah AGMP memang terlihat sepintas menggoda namun kita tidak tahu apa sesungguhnya dibalik sesuatu yang manis.

Apa saja yang terlihat menggoda dari AGMP? Menjanjikan bersatunya semua guru se-Indonesia dalam satu wadah asosiasi. Memudahkan cairnya TPG karena akan disisihkan untuk AGMP. Menjadikan AGMP sebagai asosiasi yang ikut menentukan sertifikasi guru bersama LPTK. Ada ekuivalensi (pengurangan beban jam kerja) bagi para pengurus. Semua pengurus hanya guru, dosen pensiunan, praktisi pendidikan, tenaga kependidikan “terlarang” menjadi pengurus dan anggota.

Nampaknya seseorang di birokrasi pemerintah menghendaki bubarnya PGRI yang dianggap selalu membuat resah, gelisah, tak nyaman pemerintah karena selalu berteriak membela guru. PGRI terkadang membuat repot secara politik. Buktinya pilkada dan pilpres PGRI selalu dijadikan “ladang” demokrasi yang menarik. Komunitas guru adalah komunitas yang tak bisa diabaikan.

Hadirnya AGMP adalah menyembelih dengan cekikan. Pelan tapi pasti bila Permendikmud tentang AGMP keluar maka PGRI tinggal nama. PGRI hanya akan menjadi paguyuban. Stop dan lawan regim yang “menghinakan” para guru. Kita para guru yang tergabung dalam PGRI mestinya satu komado dengan perspektif dan anjuran Ketua Umum PB PGRI. Jangan membuat langkah atau dinamika lain yang berbeda dari hasil kesepakatan bersama dan keluar dari “komando” Ketua Umum PB PGRI.

Bangkrutnya perusahaan taxi karena menganggap taxi gelap tidak akan besar. Bangkrutnya ojek pangkalan karena menganggap Go-Jek tidak akan besar. Bangkrutnya perusahaan kamera Kodak karena kamera digital dianggap tidak akan besar. Bangkrutnya telepon kabel karena handphone merajalela. Bangkrutnya jasa pengiriman surat karena dunia email memudahkan dan murah. Bangkrutnya PGRI bisa jadi karena menganggap AGMP bukan sebuah lawan dan dianggap biasa-biasa saja.

Bangkrutnya PGRI bisa juga karena terdapat para pecundang berbaju batik kusuma bangsa tetapi menjadi pengkhianat di dalam tubuh PGRI. Bangkrutnya PGRI bisa jadi karena “rahasia” PGRI diberikan pada “musuh” PGRI. Bangkrutnya PGRI bisa jadi karena perbuatan “cendikiawan” di internal PGRI yang muka dua, terlihat seperti PGRI sejati padahal pecundang penghianat sejati. Penghianat dimanapun selalu ada. Apakah yang akan dilakukan para penghianat bila “pesawat” PGRI menukik ke bawah mau jatuh?

Semoga kita semua dirahmati Allah SWT

0 komentar: